Ratatotok, megamanado-Kejanggalan pembelian dan pembebasan lahan milik warga di Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) PT Hakian Wellem Rumansi makin terkuak. PT HWR yang sudah melakukan pengerukan di lahan yang sesuai Akta Jual Beli (AJB) milik Elisabeth Laluyan kelimpungan menunjukkan bukti pembebasan yang dimaksud.
Sementara Eddy Emor atau perwakilannya selama Polda Sulut dan Polres Mitra turun lokasi selalu mangkir. Eddy yang disebut membeli tanah dari Frans kemudian menjualnya kembali ke PT HWR tak pernah datang menunjuk area dan batas lahan yang dimaksud.
Saat Polda Sulut menurunkan 14 personil ke lokasi, Kamis (22/8/2024), tabir pembelian dan pembebasan lahan yang sesuai Akta Jual Beli (AJB) milik Elisabeth Laluyan itu makin terkuak. PT HWR yang diwakil Corry Giroth bahkan tak tahu tapal batas.
Kala diminta aparat menunjuk tapal batas, Corry mengharapkan bantuan Nelce Tamuni selaku kumtua atau kepala desa (Kades) Ratatotok Satu, Kecamatan Ratatotok, Kabupaten Minahasa Tenggara (Mitra). Namun Nelce tahu kalau dia sebagai pemerintah harus menjadi penengah sehingga menolak permintaan tersebut.
Tindakan Nelce dibenarkan puluhan personil Polda Sulut yang hadir. “Ibu Kumtua itu bukan di bawah atau bagian dari PT HWR dan Eddy Emor. Ibu Kumtua di posisi seperti kami, tidak boleh memihak,” ujar salah satu personil Polda Sulut.
Informasi yang diperoleh indobrita dan emmc media grup, PT HWR dan Conny Giroth meminta bantuan Kumtua Ratatotok Satu karena pengukur mereka berhalangan. Informasi lain sang pengukur dari perusahaan tak ingin terseret lebih jauh.
Ketika Polres Mitra turun sebelumnya, sang pengukur dari PT HWR sudah kelimpungan menunjuk tapal batas. “Ditanya penyidik ini titik apa? Sang pengukur jawab titik B eh titik C eh titik A aduh lupa. Ini kan spekulasi,” kata Roland, orang dekat Elisabeth Laluyan saat menceritakan situasi sebelumnya.
Berbeda dengan kubu PT HWR -Corry Giroth dan Eddy Emor, Elisabeth Lalutan dan timnya cekatan menunjuk area dan lahan seluas 5,4 hektar miliknya. Di usianya yang sudah tidak muda, Elisabeth bisa mengenali dengan jelas tapal batas dan menjelaskan kondisi lahan sebelum adanya pengerukan.
Elisabeth mengajak tiga perwira Polda Sulut dan personil lainnya untuk melihat enam titik utama. Lahan milik orang lain yang bersebelahan dengannya juga ia hapal. Bahkan memorinya masih bisa mengingat bangunan yang ia buat, ratusan pohon kelapa yang pernah ditanam dan jalan masuk yang timnya buat sebelumnya.
“Di sini ada sabuah atau bangunan yang sudah dihancurkan orang lain. Lahan saya ini juga makin dalam dikeruk,” ucap Elisabeth tetap tersenyum.
Kubu Elisabeth Laluyan juga bisa membuktikan tapal batas secara rapih dan terbaca sistem secara akurat melalui navigasi GPS. Rupanya kepemilikan lahan yang sudah pernah teruji di Pengadilan Negeri Tondano itu sudah diukur tahun 2014 silam dan sudah di-marking dalam navigasi GPS tahun itu juga. “Karena itu kapan pun diminta, kami bisa tunjukkan semua area dan tapal batas,” ujar Roland.
Menariknya sebelum dua kubu diminta memperlihatkan tapal batas, sempat terjadi adu argumen antara pengamanan PT HWR dengan Polda Sulut. Pihak pengamanan PT HWR bersikukuh untuk tidak dulu melakukan penunjukkan tapal batas sebelum menunggu pimpinan mereka, Corry Giroth datang.
Pengamanan PT HWR juga tidak mengizinkan beberapa pendamping Elisabeth Laluyan masuk lokasi. Namun Polda Sulut menunjukkan sikap tegasnya.
Polda Sulut menyebut jadwal sudah dari pagi, tapi Corry Giroth sampai pukul 14.00 Wita tak kunjung hadir. Karena itu Polda Sulut ingin pihak Elisabet Laluyan terlebih dahulu yang menunjuk tapas batas. Semua perwakilan Elisabeth Laluyan juga dijamin Polda masuk.
“Apa yang ditakutkan jika mereka masuk? Mereka tidak akan buat kekacauan, lagi pula pengamanan PT HWR boleh ikut,” ucap salah satu personil Polda Sulut.
Ia menyebut kehadiran Polda Sulut sebagai penengah dan harus berlaku adil dengan semua pihak. “Kehadiran kami ini atas perintah undang-undang,” dia menegaskan.
Setelah itu 14 personil Polda Sulut dan Elisabeth Laluyan bersama empat timya diantar ke lokasi. Kubu Elisabeth Laluyan kemudian menujuk area dan tapal batas.
Setelah Elisabeth dan timnya hampir selesai memperlihatkan tapal batas, kemudian Corry Giroth tiba di lokasi. Entah kenapa tiba-tiba Corry berteriak meminta salah satu tim Elisabeth, Deddy Rundengan untuk keluar dari lokasi. “Keluar ngana di sini Deddy, siapa yang izinkan masuk? Ngana ini banyak provokasi, jelek-jelekkan kita dan perusahaan,” ucapnya.
Deddy berkelit kalau dia bisa masuk karena sudah melalui pemeriksaan di pos pengamanan. Salah satu personil Polda Sulut juga bersuara kalau mereka yang menjamin semua bisa masuk.
Namun, Corry tetap tidak diterima. Deddy berbesar hati mengalah dan turun jalan kaki. “Saya tidak pernah melakukan seperti yang dia sampaikan. Saya bisa tuntut balik,” ujar manyan Sekretaris GAMKI Mitra ini.
Terkait kejadian tersebut, sejumlah warga Ratatotok menduga Corry melakukan itu supaya pihaknya tidak jadi menunjuk tapal batas. “Kemungkinan juga ia sengaja datang terlambat karena kekhawatiran tidak bisa menunjuk tapas batas,” kata salah satu warga Ratatotok.
Kondisi PT HWR-Corry Giroth yang kelimpungan menunjuk tapal batas dan ketidakhadiran Eddy Emor atau perwakilannya selama Polda Sulut dan Polres Mitra turun lokasi menjadi sinyal kuat adanya yang tidak beres dalam jual beli dan pembebasan lahan di wilayah WIUP tersebut. Penjelasan Frans Karundeng kalau tidak pernah turun melakukan pengukuran dan surat yang ditandatangani pimpinan PT HWR sebelumnya, Agus Abidin kalau lahan itu masih milik Elisabeth Laluyan bisa menjadi pegangan Polda Sulut dan Polres Mitra dalam menetapkan tersangka.
“Kejanggalan lainnya, PT HWR melalui Corry Giroth menyebut sudah membeli lahan seluas 2,5 hektar dari Eddy Emor. Namun dalam prakteknya mereka sudah menguasa hampir 5 hektar lahan terregister dan sesuai AJB milik Elisabeth Laluyan,” ujar Jefry Oding Rantung, tokoh masyarakat Mitra.
Terkait hal ini, Garry Tamawiwy selaku kuasa hukum Elisabeth Laluyan menyebut bukti PT HWR sudah melakukan pembebasan lahan milik warga di wilayah WIUP tersebut lemah. “Kalau melihat data dan fakta ya memang fiktif. Dari 2,5 hektar kemudian lahan milik klien kami Ibu Elisabeth yang mau diambil PT HWR itu sudah 5 hektar,” ujarnya.
Salah satu pengacara top Sulut ini juga menyebut klaim Eddy Emor dengan surat keterangan tak bisa menjadi pegangan. Ketika Polda Sulut menangani perkara perdata dan pidana antara Buang Senaen melawan Elisabeth Laluyan, Eddy Emor yang tampil sebagai saksi menarik berkasnya. Ia terancam terancam menjadi tersangka pemalsuan surat.
Berbeda dengan dua dokumen AJB yang dimiliki Elisabeth. AJB Nomor 24/AJB/RTTK/III/2010 antara Elisabeth dan Agustina Mamanua, tertanggal 4 Maret 2010 dengan luas tanah 54.085 M2 dan nomor 38/2014, tanggal 17 Juni 2014 dengan Linda laluyan dengan luas tanah 20.000 m2 sudah diujji secara keperdataan di depan hukum.
“Putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Tondano dalam sidang sengketa perdata dengan Buang Senaen tahun 2012 mengafirmasi keabsahan dokumen Elisabeth Laluyan. Kepemilikan lahan Ibu Elisabeth Laluyan sudah diuji di pengadilan,” katanya.
Garry mengemukakan kliennya jelas dirugikan dengan tindakan PT HWR yang sudah mengambil bahan material, termasuk melakukan pengrusakan tanaman, bangunan dan lainnya di area seluas 5 hektar lebih itu. “Kami mengapresiasi upaya Polda Sulut dan Polres Mitra yang telah turun lokasi dan menggelar perkara khusus soal kepemilikan lahan tersebut,” ujar Garry lagi. (*/alx)