Frans Karundeng Jual Tanah tanpa Tunjuk Tapal Batas Jadi Sinyal Lahan yang Dibeli PT HWR Kemungkinan Fiktif

Penampakan lahan setelah adanya pengerukan (Foto: IBC-MMC)

Manado, megamanado-Pengakuan Frans Karundeng saat Gelar Perkara Khusus di Polda Sulut, Senin (29/7/2024) bisa jadi sinyal kalau pembebasan lahan milik warga oleh PT Hakian Wellem Rumansi (HWR) itu fiktif atau rekayasa. Lahan yang dimaksud itu berada di area Perkebunan Pasolo, Kecamatan Ratatotok, Minahasa Tenggara (Mitra).

Di kesempatan itu, Frans Karundeng salah satu pihak terkait yang diundang mengaku tidak pernah turun melakukan pengukuran tanah dan menunjuk lokasi lahan di area yang masuk Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) PT HWR tersebut.

Read More

Pengakuan tersebut menguatkan keterangan Frans sebelumnya. “Dari awal penjelasan saya seperti itu,” ucap pria asal Tomohon ini.

Pengakuan jujur Frans ini menandakan ada yang tidak beres dalam proses jual beli lahan antara dirinya dengan Eddy Emor.  Penjualan lahan tanpa penunjukan lokasi dan pengukuran yang dihadiri dua pihak jelas janggal.

Tak heran banyak kalangan, khususnya warga Mitra berkesimpulan jika lahan yang dimaksud itu fiktif. “Penjual dan pembeli tidak menunjuk batas, lokasi dan melakukan pengukuran. Jadi siapa yang melakukan pengukuran? Saya kira sudah jelas kalau lahan yang dimaksud fiktif, hanya rekayasa untuk menguasai lahan orang lain,” kata Jefry ‘Oding’ Rantung, salah satu tokoh masyarakat Mitra yang juga datang di Polda Sulut, namun tidak masuk dalam ruang pertemuan.

Eddy Emor sendiri berdalih pembelian dan penjualan lahan seluas 2,5 hektar sudah benar karena dilakukan di hadapan pemerintah.  Sementara Corry Giroth dari PT HWR menyebut apa yang mereka lakukan sudah sesuai prosedur dan ketentuan.

Dalam pertemuan itu, Polres Mitra menunjukkan denah atau gambar lokasi yang dimaksud. Penunjukkan denah seperti memberi petunjuk  jika lahan tersebut memang milik  Elisabeth Laluyan atau Ci Gin. Pasalnya denah lahan seperti yang sering diperlihatkan Elisabeth dan timnya yang berbentuk duduk atau horizontal.

“Kita juga sudah turun lokasi bersama Polda Sulut dan Polda Mitra. Saat turun lokasi kita bisa menunjukkan tapal batas dengan jelas dan sesuai denah atau gambar,” ucap Roland Rey, orang kepercayaan Elisabeth Laluyan.

Memang sebelum gelar perkara khusus, Polda Sulut dan Polres Mitra pernah turun langsung ke lokasi. Saat peninjauan langsung di lokasi, kubu Frans Karundeng maupun Eddy Emor tidak pernah menunjuk tapal batas dan lokasi yang dimaksud. Hanya diwakili pengukur tanah dari pihak PT HWR.

Namun, tim pengukur PT HWR kelimpungan menunjuk titik-titik dan tapas batas lokasi. Gelagat memaksakan hak atas tanah orang lain itu terlihat ketika sosok Mas Pri (tukang ukur) HWR berspekulasi menunjuk titik dan ternyata salah atau meleset dari navigasi GPS yang dipegang kubu warga.

Penyidik Polres yang melaksanakan tinjau Lokasi pun dibuat kaget karena spekulasi kubu HWR, Corry Giroth dan Eddy Emor untuk mencocokan gambar lokasi tanah berbentuk tidur/horisontal untuk menutup lokasi Elisabeth Laluyan yang dalam surat seluas lima hektar dan dalam bentuk vertikal pula.

“Gambar denah dalam surat tanah mereka bentuknya duduk atau horizontal. Untuk menghindari tudingan pengrusakan lokasi warga, mereka memaksa agar gambar itu didudukan bentuk vertikal sehingga dalam pencocokan lokasi, tampak menimpa lokasi tanah Elisabteh Laluyan. Masakan mereka punya 2 hektar tutup Elisabeth Laluyan 5 hektar,” ucap Roland.

Penyidik yang mengetahui gelagat tukang ukur kiriman HWR dan Pemerintah Desa sempat bingung dan bertanya-tanya. Puncak keheranan penyidik karena Mas Pri tidak bisa menunjuk tapal batas.

“Ditanya penyidik ini titik apa? Mas Pri jawab titik B eh titik C eh titik A aduh lupa. Ini kan spekulasi,” terang Roland.

Untungnya dari kubu Elisabeth Laluyan yang sudah memegang GPS berhasil membuktikan tapal batas. Karena apa? Karena lahan tersebut sudah diukur tahun 2014 silam dan sempat di-marking dalam navigasi GPS di tahun itu juga. Saat membuka GPS dan kemudian lihat titik koordinat, tapal batas tanah milik Elisaeth Laluyan tampak tertata rapi dan terbaca sistem secara akurat.

Terkait hal ini, Garry Tamawiwy selaku kuasa hukum Elisabeth Laluyan  menyebut bukti PT HWR sudah melakukan pembebasan lahan milik  warga di wilayah WIUP tersebut lemah.  “Kalau melihat data dan fakta ya memang fiktif. Dari 2,5 hektar kemudian lahan milik klien kami Ibu Elisabeth yang mau diambil PT HWR itu sudah 5 hektar,” ujarnya.

Salah satu pengacara top Sulut ini juga menyebut klaim Eddy Emor dengan surat keterangan tak bisa menjadi pegangan. Ketika Polda Sulut menangani perkara perdata dan pidana antara Buang Senaen melawan Elisabeth Laluyan, Eddy Emor yang tampil sebagai saksi menarik berkasnya. Ia terancam  terancam menjadi tersangka pemalsuan surat.

Berbeda dengan dua dokumen AJB yang dimiliki Elisabeth.  AJB Nomor 24/AJB/RTTK/III/2010 antara Elisabeth dan Agustina Mamanua, tertanggal 4 Maret 2010 dengan luas tanah 54.085 M2 dan nomor 38/2014, tanggal 17 Juni 2014 dengan Linda laluyan dengan luas tanah 20.000 m2 sudah diujji secara keperdataan di depan hukum.

“Putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Tondano dalam sidang sengketa perdata dengan Buang Senaen tahun 2012 mengafirmasi keabsahan dokumen Elisabeth Laluyan. Kepemilikan lahan Ibu Elisabeth Laluyan sudah diuji di pengadilan,” katanya.

Garry mengemukakan kliennya jelas dirugikan dengan tindakan PT HWR yang sudah mengambil bahan material, termasuk melakukan pengrusakan tanaman, bangunan dan  lainnya di area seluas 5 hektar lebih itu.   “Kami mengapresiasi upaya Polda Sulut dan Polres Mitra yang telah turun lokasi dan menggelar perkara khusus  soal kepemilikan lahan tersebut,”  ujar Garry lagi. (*/ben)

 

Yuk! baca berita menarik lainnya dari MEGA MANADO di GOOGLE NEWS

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *