BANYAK sekali adagium seputar paham universalitas sepakbola, pun sejak jaman dulu sampai ketika era telah memasuki gerbang modernism bahkan post modern.
Menjelaskan sisi yang sebetulnya tergolong subjektivitas namun nyata membius komunitas antar negara itu, saya menukil narasi Centre National de la Recherche Scientifique di Prancis, di situ menjelaskan kenapa olahraga ini menjadi popular.
Karena seluruh komunitas, kota, bahkan negara dapat mengidentifikasikan diri mereka ke dalam tim kesayangannya. Olehnya, sepakbola telah menjadi referensi internasional dalam budaya global serta melewati sudut pandang perbedaan wilayah, negara bahkan generasi (konsep lingua franca).
Maka saat event empat tahunan ini digelar di Qatar (Minggu 20/11/2022 malam ) dengan Opening Ceremony yang super megah, detik itulah orkestra pentas tanpa batas membetot atensi publik.
Dapat dipahami jika kemudian tanpa diminta, aneka bendera kontestan —sesuai selera dan fanatisme pendukung- mulai berkibar, perang opini pun merebak di jagad medsos.
Di titik ini, kita menemui fakta betapa sepakbola tak ubahnya sebuah drama kolosal, dengan ending yang bisa memantik euphoria atau bahkan tangisan sebagai wujud ekspektasi hasil yang diraih tim kesayangan.
Bahwa kemudian masing-masing memiliki tim favorit, itulah sisi universalitas cabang yang memiliki penggemar terbanyak ini. Kita tidak bisa serta merta, memaksa orang lain (fans) untuk mengubah pilihannya, kendati baku mati leh , sekali Holland tetap Holland misalnya, atau biar bumi runtuh torang tetap Brasil, demikian halnya, argumentasi Torang Argen, Jerman Always dan lain-lain kredo yang sebetulnya menunjukan fanatisme dan kecintaan yang sejatinya absurd itu.
Romantisme penggemar di atas menurut Maarten Van Bottenburg (Utrecht University Belanda) dalam karya Global Games, menunjukkan ekspresi dari sebuah sikap, apapun yang berbau universalitas disukai orang dan membuahkan inspirasi.
Arkian, ketika catatan sederhana ini saya buat di sela hari-hari yang padat, maka sejatinya animo ini tak hanya karena kesukaan dan optimisme terhadap Belanda, tetapi seutuhnya sebagai bentuk apresiasi dan respek terhadap perhelatan terbesar di jagad raya ini.
Selebihnya, saya berpesan, mari mendukung tim kesayangan dengan sikap positif dan sportif, tetap dengan spirit cinta dan adrenalin, meski banyak pertandingan namun kelak yang juara hanya 1 tim.
Sang kampiun tidak hanya ditentukan oleh siapa yang memiliki mental yang siap, namun di dalamnya ikut berkelindan unsur tadkir, keberuntungan atau mujizat.
Selamat menonton. (*)