MANADO – Sedikit demi sedikit, penggunaan bahasa Daerah Minahasa tergerus oleh zaman. Kata Prof ABG Rattu, muatan lokal pendidikan di Sulut tidak berjalan mulus. Padahal Indonesia telah mencanangkan kurikulum ini sejak 1994.
Ada beberapa faktor penyebab, yakni tidak tersedianya guru bahasa Tonsea, Tontemboan, Tombulu, Bantik, Tonsawang, Pasan, Ponosakan, begitu juga dengan kesenian dan keterampilan budaya. Pun terbatasnya ketersediaan materi ajar tiap-tiap bahasa tersebut.
“Kalau ini dibiarkan terus-menerus akan menjadi sebuah kerugian besar bagi Daerah Sulawesi Utara, khususnya dalam pengembangan budaya untuk menarik wisatawan atau peneliti,” tegasnya Rabu (21/11).
Rattu menilai, Jawa dan Bali sangat menghargai budaya mereka, dan itu telah menjadi daya tarik wisawatan dan penelit, namun berbeda dengan Sulut, hal ini sangat mengecewakannya.
Padahal zaman Gubernur GH Mantik dana besar dialokasikan untuk melestarikan budaya lokal, terutama penataan guru dan tim penyusun buku, bahkan Dinas P dan K Sulut turut dirangkul untuk bekerjasama.
“Waktu itu Pemerintah memanfaatkan kemampuan budayawan senior yang menguasai bahasa daerah dan keseniannya,” ungkap Rattu.
Olehnya dia berharap untuk saat ini ada perhatian khusus pemerintah mengembangkan dan melestarikan budaya minahasa terutama bahasanya. (buf)
Budayawan Kritik Muatan Lokal Sulut Karena Tidak Berjalan Mulus
