AIRMADIDI-Pelaksanaan proyek jalan tol Manado-Bitung terancam molor di beberapa titik. Kondisi ini perlu menjadi perhatian Kementerian Pekerjan Umum supaya target penyelesian proyek berbanderol triliunan rupiah ini tak meleset.
Dari informasi, proyek tak berjalan mulus karena ada riak antara PT Sino Road dan PT Hutama Karya sebagai pelaksana proyek dengan sejumlah perusahaan yang menjadi subkon.

Pemicunya adalah soal gambar dan data yang ukur yang tak pernah diberikan ke Sino-HK ke subkon serta pencairan dana yang berbelit-belit. Ratusan karyawan dari tiga subkon yakni PT AWP, PT BCI dan CV Aurelio pun menyambangi langsung kantor Sino-HK di bilangan Kalawat, Minut pada Senin (2/10/2017) siang.
Di depan kantor Sino-HK, para karyawan teriak-teriak menuntut hak mereka. “Sudah berbulan-bulan hak kami tidak diberikan. Jika mangkir lagi, kami akan duduki kantor Sino-HK,” ungkap Ishak, salah satu pengunjuk rasa.
Terlihat raut kekecewaan dan kemarahan di wajah mereka. Meski demikian, para pengunjuk rasa tak bertindak anarkhis. “Setiap pulang ke rumah, istri menanyakan gaji. Kami tak tahu bilang apa.Kami harap pimpinan Sino-HK segera melunasi kewajiban,” ungkap Tino.
Para pengunjuk rasa kemudian diminta tetap menunggu di depan kantor yang berada di dekat area proyek. Sementara di ruang rapat digelar pertemuan antara perwakilan PT AWP, PT BCI dan CV Aurelio dengan pimpinan Sino-HK. Pertemuan yang dimediasi oleh Kapolsek Airmadidi, AKP Edi Susanto ini ikut dihadiri Azrul Bunyamin sebagai pimpinan konsultan dari mega proyek ini.
Di pertemuan inilah, Wely dari PT AWP dan Yudi sebagai juru bicara CV Aurelio ‘menelanjangi kesalahan’ Sino-HK. “Ada perubahan gambar yang tak dibicarakan dari awal. Bayangkan kontrak kami selesai Juni, lalu saat penagihan diminta sesuai dengan gambar yang baru keluar Agustus, ini tak masuk akal,” ujar Yudi.
Ramly selaku manager engenering mencoba memberikan penjelasan soal adanya perubahan gambar. Tapi, saat berdebat ia tak berdaya. “Pak Ramy ini orang baru, kalau tidak salah baru satu bulan, jadi tak mengikuti dari awal proyek ini,” ungkap Wely. “Ada selisih yang signifikan dari perubahan-perubahan itu, itu merugikan kami,” kata dia lagi.

Ia menilai ada semacam upaya mengangkangi kebijakan Presiden Jokowi dan Gubernur Sulut Olly Dondokambey dari proyek ini. “Jalan tol ini merupakan upaya Presiden Jokowi untuk percepatan pembangunan. Proyek menggunakan dana pinjaman luar negeri. Banyak hal yang berjalan tak semestinya yang kemudian berdampak pada lambatnya proyek tersebut. Jangan dipersulit supaya selesai tepat waktu,” ujarnya.
Wely juga menyesalkan sering lambatnya pencairan dana, meski sudah ditandatangani semua pihak berkompeten. “Kadang memakan waktu tiga bulan, meski tujuh orang sudah bertandatangan,” ucapnya.
Sementara Romy dari PT BWI menyebut tak ada data ukur dari awal. “Mohon ditunjukkan gambar dan data ukur supaya tidak meraba-raba. Sampai sekarang data ukur itu tak diperlihatkan,” ucapnya.
Perwakilan dari ketiga subkon ini juga menyesalkan sikap General Supwrintenden (Kapro) Mr Ge yang tiba-tiba melakukan pemutusan hubungan kerja secara sepihak. “Saat kami tanyakan masalah ini, justru keluar pemutusan hubungan kerja,sangat sewenang-wenang,” ungkap Yudi.
Mereka juga menyorot pimpinan PT HK, Rajez yang tak pernah hadir di setiap pertemuan. “Sudah beberapa kali pertemuan, tapi Pak Rajes tak pernah hadir. Perwakilan PT HK di setiap rapat tak bisa mengambil keputusan karena Pak Rajes tak ada,” ucap yang lainnya.
Azrul selaku konsultan mengakui adanya perbedaan itu. Ia pun sedikit kesal karena dalam hal-hal tertentu, konsultan tak dilibatkan. “Saran saya semua kebutuhan subkon diakomodir dan diapresiasi,” ungkapnya.
Pria asal Makassar ini mengusulkan untuk digelar pertemuan lagi dengan melibatkan semua pihak berkompeten. “Pimpinan PT Sino dan PT HK, Satker, PPK, perwakilan ketiga subkon dan semua yang berkepentingan perlu hadir saat pertemuan nanti,” ujar Azrul.
Usulan itu disambut semua kalangan. “Saya pasti hadir,” ujar Mr Ge.
Pria yang belum tahu berbahasa Indonesia ini berjanji tak akan memotong sepeser rupiah pun dari hak pekerja. Hanya saja ia ingin tetap melakukan survey lapangan lagi.“Soal berapa kali mau survey itu silahkan, tapi hak kami harus dibayarkan,” kata Wely. (*/nji)