MANADO-Mantan Bupati Bolaang Mongondow (Bolmong) dua periode, Marlina Moha Siahaan (MMS) dikabarkan menghadiri acara rapat Partai Golkar di Jakarta. Kehadiran MMS di kegiatan partai berlambang pohon beringin menjadi bahan pembicaraan sejumlah kalangan mengingat statusnya sebagai warga binaan Rumah Tahanan (Rutan Malendeng).
Seperti diketahui, ibunda tercinta dari anggota DPR RI, Aditya Moha itu divonis lima tahun penjara oleh Ketua Majelis Hakim Sugiyanto di persidangan Rabu (19/7/2017) lalu di Pengadilan Negeri Manado. Vonis itu disertai kutipan putusan Majelis Hakim untuk langsung dilakukan penahanan.
Namun, dalam jangka waktu tujuh hari yang diberikan Majelis Hakim apakah akan dilakukan banding, atau tidak, langsung disikapi oleh pihak pengacara. Mereka pun mengambil sikap untuk melakukan banding, serta mengurus memori banding di Pengadilan Negeri Manado, sebagai pihak yang akan mengirim berkas tersebut ke Pengadilan Tinggi Manado.
Menariknya, dalam proses pengurusan memory banding, tiba-tiba keluar surat penetapan dari Pengadilan Tinggi Sulut, untuk tidak dilakukan penahanan oleh MMS. Atas hal tersebut pihak Rutan Malendeng langsung membebaskan sementara MMS dengan status hukum yang terus berjalan.
Kuasa Hukum MMS Chandra Papuntungan ketika dikonfirmasi Kamis (28/9/2017), ikut membenarkan bahwa kilennya kini di luar tahanan. Ia pun membantah tuduhan kalau hal tersebut tidak sesuai prosedur hukum. Karena menurutnya, pihaknya mempunyai dasar surat penetapan dari Pengadilan Tinggi Manado.
“Jadi, kami mempunyai dua surat dari Pengadilan Tinggi, dimana surat tersebut menjelaskan kalau klien kami tidak dapat dilakukan penahanan,” jelas Chandra.
Ia pun menjelaskan, bahwa pihaknya sudah melakukan prosedur ini sesuai peraturan yang ada.
“Prosedur banding kami telah lakukan, sesuai dengan waktu yang diberikan. Jadi kalau MMS saat ini berada di luar itu tidak salah karena kami punya landasan surat tersebut,” tandasnya.
Disisi lain Ketua Pengadilan Tinggi Manado Sudiwardono, ketika diwawancarai awak media mengungkapkan alasan dirinya tidak menandatangai Surat Perintah Penahanan MMS karena terlambatnya berkas banding dari Jaksa Penuntut Umum yang dikirimkan melalui Pengadilan Negeri Manado ke Pengadilan Tinggi.
“Yang saya tau harus seperti itu. Namun Berkas tersebut terlambat diberikan kepada pihak kami. Hingga permintaan untuk dilakukan penahanan terhadap MMS saya tidak tandatangani, jadi lebih lanjut tanya ke PN Manado,” jelas Sudiwarno, belum lama ini.
Sementara itu Ketua Pengadilan Negeri Manado Djaniko Girsang melalui Humasnya Moh Alfi Usup, membantah pernyataan tersebut. Menurutnya oleh Majelis dan Pengadilan Negeri Manado tidak lagi ada permintaan penahanan, karena dalam putusan tersebut sudah ada perintah untuk dilakukan penahanan.
“Saya tidak tahu alasan tersebut, karena dalam amar putusan tidak hanya berisi penghukuman dan juga perintah penahanan, jadi ini sudah menjadi kewenangan Pengadilan Tinggi, jadi lebih lanjut ditanyakan kepada mereka,” tandasnya Rabu (27/09/2017)
Sebelumnya, Ketua Majelis Hakim, Sugiyanto bersama dua Hakim Anggota, yakni Halidja Wally dan Emma Ellyani telah menvonis bersalah MMS 5 Tahun. Vonis tersebut lebih tinggi dari tuntutan 4,6 tahun yang diajukan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Tak sampai di situ, Majelis Hakim juga mewajibkan MMS membayar Uang Pengganti (UP) sebesar Rp1,2 Miliar lebih, ditambah denda sebesar Rp200 juta.
Diketahui, MMS sempat menolak dakwaan dan tuntutan JPU yang menyebutkan dirinya bersalah dan terlibat dalam perkara korupsi TPAPD Bolmong. Bahkan, dalam pledoi pribadinya, MMS menyebutkan jika dia tidak mengetahui adanya proses pinjam uang dengan menggunakan dana TPAPD atas nama Suharjo Makalalang, Mursid Potabuga, Cymmy CP Wua dan Ikram Lasinggarung. Sayangnya, Majelis Hakim berpendapat lain dan dengan segala pertimbangan memutus bersalah bekas petinggi di wilayah lumbung beras itu
MMS sendiri sebelumnya didakwa JPU atas penyalahgunaan dana TPAPD Bolmong sebesar Rp1,2 miliar lebih dengan menggunakan pasal 2 ayat (1), jo pasal 18 ayat (1) huruf b Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dan ditambahkan dengan UU RI No 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No 31 tahun 1999, jo pasal 55 ayat (1) Ke-1, jo pasal 64 ayat (1) KUHPidana, dalam dakwaan primair.
Sedangkan dalam dakwaan subsidair, tim JPU bersandar pada pasal 3 jo pasal 18 ayat (1) huruf b Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU RI No 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No 31 tahun 1999, jo pasal 55 ayat (1) Ke-1, jo pasal 64 ayat (1) KUHPidana. Selain itu, terdakwa juga dijerat dengan pasal 6 ayat (1) huruf a, huruf c, dan huruf f UU RI No 25 Tahun 2003 tentang Perubahan UU RI No 15 Tahun 2012 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. (rey/nji)