MANADO– Gerakan Makan Tanpa Nasi (Gentanasi) mulai digalakkan di Sulut. Gentanasi sendiri bukan berarti tidak makan nasi sama sekali.
Program ini hanya mengganti satu kali waktu makan dalam sehari dengan pangan lokal selain nasi. “Saya setuju dengan Gentanasi. Jika seluruh keluarga di Sulut dalam seminggu mengganti sekali waktu makan dalam sehari dengan pangan selain nasi pasti banyak manfaatnya termasuk kesehatan yang lebih baik,” kata kata Wakil Gubernur Steven Kandouw saat dihubungi media ini, Sabtu (23/9/2017).
Gentanasi ini diinisiasi Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulut dengan Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementerian Pertanian (Kementan). Menurut Wagub, Gentanasi merupakan program yang berdampak positif dalam mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap nasi.“Melalui Gentanasi, ketergantungan masyarakat terhadap beras bisa dikurangi, karena di Sulut, sumber pangan pokoknya berasal dari umbi-umbian. Untuk itu program ini harus terus digencarkan,” katanya.
Lebih jauh, Kandouw menerangkan salah satu kearifan lokal yang mendukung penganekaragaman pangan, adalah pisang Goroho, yaitu pisang khas sebagai sumber makanan masyarakat Minahasa sejak zaman dahulu.
Selain itu, di Kepulauan Sangihe terdapat Sagu, yang dibiarkan tumbuh tanpa perawatan dan perhatian, ternyata merupakan makanan lezat dengan kandungan gizi cukup tinggi dan bisa dijadikan sebagai makanan bergizi bagi masyarakat.
Adapun di Minahasa dan Minahasa Selatan terdapat pangan lokal jagung yang diolah menjadi beras jagung dan tepung jagung, yang banyak dikonsumsi masyarakat.
Di tempat yang sama, Ketua TP-PKK Sulut, Ir Rita Maya Dondokambey-Tamuntuan menerangkan pentingnya kualitas konsumsi pangan dan gizi untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia di Sulut.
“Kita harus berupaya menyediakan pangan dalam jumlah dan keragaman yang cukup, dengan kualitas yang layak dan tersedia sepanjang waktu. Ini harus dilaksanakan karena pola konsumsi pangan penduduk Sulut saat ini masih kurang beragam dari jenis pangan dan keseimbangan gizinya,” ujarnya.
Adapun keragaman jenis pangan itu, menurut Rita harus memenuhi kecukupan gizi masyarakat Sulut.“Menu yang disajikan hendaknya terdiri dari sumber karbohidrat, pangan sumber protein hewani dan protein nabati yaitu daging, ikan dan kacang-kacangan serta pangan sumber vitamin dan mineral yaitu sayur-sayuran dan buah-buahan,” tandasnya.
Sementara itu, Kepala Pusat Penganekaragaman Pangan dan Keamanan Pangan Kementerian Pertanian Ir Tri Agustin Satriani, MM yang mewakili Kepala Badan Ketahanan Pangan, Dr Agung Hendriadi mengatakan, upaya percepatan diversifikasi pangan sangat penting dilaksanakan agar masyarakat mampu mengurangi konsumsi beras dan terigu.
“Upaya menurunkan konsumsi beras dan terigu harus diikuti dengan penyediaan pangan karbohidrat dari pangan lokal seperti sagu, singkong, ubi jalar, sukun, ganyong, pisang dan sebagainya,” katanya. (ado/nji)